SEBUAH peribahasa berbunyi: Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggap di bubungan juga. Artinya, betapa pun jua orang jauh merantau, ada saatnya ia akan kembali ke kampung halaman. Kembalinya ia bisa diartikan secara fisik dan non fisik, baik berupa perhatian, manfaat, pengaruh, dan lain-lain.
Adalah Buya Safii Maarif, berlaku padanya peribahasa di atas. Guru Bangsa ini pada 31 Mei 2022 berusia 87 tahun. Meskipun usia telah dan kian menua, rasa cinta dan perhatiannya pada kampung halaman tak pernah pudar sedikit pun.
Pada 22 April 2022, Buya mengirimkan sebuah pesan via WA. Kata Buya, “Pada saatnya saya ingin bicara dari hati ke hati dengan Erik dan Ribas, jika mungkin kita atur Ahad depan saat saya berjemur, sekalipun kesehatan saya belum normal. Trim. Maarif.”
Bagi saya, sebelum ada pembicaraan dari hati ke hati, pesan tersebut telah terlebih dahulu masuk ke hati namun membuat perasaan tidak tenang. Apa yang hendak Buya bicarakan? Ahad pagi, 24 April 2022, saya menemui Buya di halaman masjid Nogotirto sambil menemani ia berjemur di bawah pancaran sinar mentari. Ribas yang sedianya ikut hadir memohon izin karena sudah mudik ke Aceh.
Pernapasan Buya yang masih belum normal akibat sakitnya beberapa waktu lalu, membuatnya langsung menyampaikan inti pembicaraan. Buya ingin kami menyusun sebuah buku tentang perjalanan sejarah Muhammadiyah di Sumpur Kudus!
Setelah sukses mengutus dua anak panah Muhammadiyah ke kampung halamannya sejak hampir dua tahun lalu, Buya ingin supaya Muhammadiyah di sana bangkit dan bersinar kembali seperti masa-masa awal sebelum pecahnya peristiwa PRRI.
Peristiwa inilah yang membuat Muhammadiyah di Sumpur Kudus mati suri selama sekitar 40 tahun. Pada tahun 2000 Muhammadiyah dihidupkan kembali namun sungguh tidak mudah dan tertatih-tatih. Hingga tahun 2020 dua anak panah Muhammadiyah, Sidiq dan Inggit, dilesatkan dari Yogyakarta.
Bagi Buya, kiprah dua anak panah Muhammadiyah selama hampir dua tahun yang gemilang ini telah membuka pintu bagi masuknya upaya untuk membangun kampung halaman, khususnya dalam hal pendidikan agama yang mencerahkan bagi masyarakat.
Pada 13-21 Maret 2022, saya berkesempatan mengunjungi dua anak panah Muhammadiyah di Nagari Sumpur Kudus dan Calau. Lima hari sebelum berangkat ke Minangkabau, saya berpamitan kepada Buya Syafii secara langsung yang saat itu masih dirawat di PKU Muhammadiyah Gamping.
Mendengar kabar rencana keberangkatan itu, Buya bahagianya bukan kepalang. Senyuman itu tak dapat disembunyikannya. “Hebat! Hebat! Anda harus merasakan masakan orang kampung saya, enak sekali! Segera beri tahu Asmul!” kata Buya.
Di nagari ini nama Buya begitu harum. Salah satunya tentu karena kiprahnya dalam membangun kampung halaman, baik secara fisik maupun non fisik. Kepercayaan itu diberikan kepada mereka yang tulus dan lurus untuk dakwah Muhammadiyah. Meskipun jauh di mata, bagi Buya kampung halaman selalu dekat di hati.
Sejak belia, Buya dididik di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus. Kemudian lanjut ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Balai Tengah, Lintau. Lalu Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pendidikan formal 12 tahun ia tempuh secara penuh di Muhammadiyah.
Kampung halaman dan Muhammadiyah telah berjasa membentuk seorang Buya Syafii. Maka tak heran jika Buya kini berusaha berbuat semampunya untuk keduanya, meskipun sesungguhnya tak ada harap kembali. Kebaikan berbalas dengan kebaikan.
Doa setulusnya, semoga Buya selalu dirahmati Allah, diberikan kesehatan dan kekuatan. Rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik, demikian tertera dalam surat al-A’raf ayat 56.
Penulis adalah Kader Muhammadiyah